Mengapa Saya Menulis

Posted on 17/11/2010

0


Esai pribadi tentang perjalanan hidup menjadi penulis

Sesungguhnya jika ditanya mengapa saya menulis mungkin jawabannya kurang lebih tak jauh beda dengan kebanyakan penulis pada umumnya. Seseorang menulis berarti ia ingin menyampaikan sesuatu, mungkin juga pesan atau impian-impian yang tak bisa diraihnya dalam kehidupan sehari-hari. Kira-kira begitulah yang saya alami selama saya memutuskan dunia menulis adalah pilihan hidup saya.

Dari mulai periode bersekolah sampai kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta saya diam-diam memutuskan untuk suatu saat full menjadi seorang penulis. Menulis apa? Tentu saja menulis apa yang saya ketahui dan apa yang saya suka, terutama perkembangan dunia buku, seni dan kebudayaan populer khususnya film, komik, dan sastra.

Namun periode itu semua sebenarnya sudah diawali kala masih kanak-kanak di bangku sekolah dasar kelas lima. Karena saya sangat banyak sekali membaca cerita-cerita petualangan macam Trio Detektif-nya Alfred Hitchcock, Lima Sekawan, Sapta Siaga, Agatha Christie, Sherlock Holmes-nya Sir Arthur Conan Doyle, Djokolelono, duo pemburu karya Willard Price, buku-buku seri Pustaka Dasar dan seri Kancil dan Lima Benua, buku-buku Balai Pustaka, kisah lucu dan heroiknya Fantomette karya Georges Chaulet sampai karya agung HG Wells, Jules Verne, Astrid Lindgren, Enid Blyton, Robert Louis Stevenson, Edgar Allan Poe, John Steinbeck, Marcel Pagnol, John Milne, Scott O’ Dell juga karya Arswendo Atmowiloto, Teguh S. Harianto (kemana dia sekarang, ya?), Iwan Simatupang, Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya dan Hilman Hariwijaya. Juga komik-komik Superman, Batman, Hulk, Spider-Man, Tintin, Tanguy dan Laverdure, Yo, Susi dan Yoko, Lucky Luke, Lampil, Storm, Tarzan, Hi dan Lois, Coki pelukis cepat, Tatang.S, Otoy, Doyok, Kubil, Gundala, dan Si Buta dari Gua Hantu.

Bacaan-bacaan itu, juga tontonan film-film laga Chuck Norris, Sylvester Stallone, Arnold Schwarzenegger, Jean Claude Van Damme dan Bruce Willis, ditambah beberapa film sains fiksi Irwin Allen, Ridley Scott, James Cameron, dan Steven Spielberg juga horor terutama karya Wes Craven pun film-film monster seperti Godzilla, King Kong, Jaws, After Food of The Goods, membuat saya suka mengkhayalkan diri untuk suatu saat nanti saya akan menulis cerita sendiri. Sebuah cerita yang utuh karya pribadi yang suatu saat bisa dibagi kepada semua orang yang mau membacanya.

Maka dimulailah periode itu di kala SD kelas lima. Seorang kawan, Renatha Budi Darma, juara kelas yang tidak sombong dan mau bersahabat dengan siapa saja termasuk saya yang penyakitan mengajak saya menulis cerita khayalan di buku tulis. Cerita itu ditulis kala jam istirahat jam pertama. Pada jam istirahat kedua saya serahkan kepada Renatha untuk membacanya, demikian juga Renatha yang juga menulis cerita menyerahkan ceritanya kepada saya untuk dibaca. Begitulah, waktu berlalu dan kami bergantian saling menulis dan membagikan cerita. Cerita pertama yang saya buat saya beri judul “Grrrrhhh!”. Judulnya terilhami dari cerpen Seno Gumira Ajidarma yang dimuat di Kompas tahun 1987. Ceritanya terilhami dari film sains fiksi “Aliens” (1986) dan film horor “A Nightmare on Elm Street” (1984). Penggambaran monster alien yang menjijikkan saya bayangkan dari film “Aliens” sedangkan darah yang mengucur deras akibat perbuatannya melalui cakarnya yang tajam dan menyeramkan terilhami dari “Nightmare”.

“Grrrrhhh!” mengisahkan sebuah ekspedisi angkasa luar ke planet Mars untuk menyelidiki renik-renik kehidupan yang ada di sana. Bertahun-tahun ekspedisi itu kembali ke bumi. Secara tak sengaja dalam pesawat yang membawa ke bumi seekor makhluk alien yang kecil dan ringkih menempel di tubuh pesawat itu tanpa seorang pun menyadarinya. Sang makhluk alien berlendir itu terbawa ke bumi dan ketika pesawat itu dimasukkan ke dalam ruangan, ia membunuh seorang penjaga. Rupanya sang alien itu adalah makhluk yang hampir punah dan merupakan spesies terakhir di Mars. Menemukan tubuh manusia ia serasa menemukan kehidupan barunya lagi dan bisa berkembang biak. Dan selanjutnya monster itu beserta keturunannya pertama mencari manusia-manusia lain sebagai korban agar ia bisa hidup dan bertambah keturunannya.

New York gempar. Teror monster yang selalu bersuara “GGGrrrh! Grrrrh!” itu semakin meluas. Kota terpaksa ditutup. Dengan cepat dibentuk skuadron yang dilengkapi peralatan militer yang canggih guna melawan keganasan makhluk itu yang wujudnya bermacam-macam, ada yang besar, kecil, dan sedang-sedang saja tubuhnya. Makhluk berlendir dengan cakar yang panjang mengerikan itu sulit dimusnahkan. Jumlahnya semakin bertambah saja. Kalau terus dibiarkan penduduk New York bisa habis. Skuadron yang dipimpin oleh tentara muda bernama Steve kehilangan akal. Tapi setelah melalui berbagai penelitian mereka lalu bergabung dengan tim ekspedisi planet Mars setelah mengetahui makhluk tersebut berasal dari Mars. Mereka bekerja keras dan akhirnya tim ekspedisi Mars kembali ke planet merah itu untuk mengambil unsur kimiawi yang dinamai Marsunium. Unsur ini dipercaya dapat memusnahkan sang monster berkembang biak lebih banyak. Setelah tim tersebut kembali ke bumi dan menyempurnakan temuannya menjadi senjata kimia baru makhluk berlendir itu berhasil dilumpuhkan. New York kembali damai.

Demikian cerita pertama yang saya buat waktu SD. Kebetulan penulisannya sempat terhambat karena saya kehabisan ide di tengah jalan, tapi disempurnakan oleh Renatha hingga cerita itu bisa tamat sampai satu buku tulis habis. Ide Marsunium yang idenya didapat dari nama “Uranium” itu adalah ide Renatha.

Setelah dibaca Renatha yang rupanya juga bertindak menjadi “editor” saya yang pertama dalam menulis cerita, baru cerita itu saya bagikan kepada teman-teman lain yang mau membaca. Salah satu diantaranya David Namora, kawan dekat saya yang juga suka baca dan nonton film seperti saya. Hampir semua teman-teman yang saya bagikan cerita tersebut rata-rata suka dengan cerita saya itu sehingga membuat saya bersemangat untuk menulis cerita baru lagi. Renatha sangat bangga dengan saya karena dia sendiri punya cerita detektif polisi dengan setting Jakarta yang diberi judul “Mayor FX” malah tidak selesai.

Cerita berikutnya yang saya tulis adalah “White Cobra Mission” atawa “Misi Kobra Putih”. Idenya diambil dari pasukan anti teroris “Delta Force” yang dibintangi Chuck Norris pada tahun 1986. Sedangkan ide ular kobra sebagai simbol didapat dari film “Cobra” (1986) yang dibintangi Sylvester Stallone. Bedanya pasukan berlogo ular kobra warna putih yang lidahnya menjulur itu adalah pasukan anti teroris di ruang angkasa. Mereka bertugas mencegah serangan penjahat maupun teroris dari planet lain yang mengusik bumi. Settingnya kalau tidak salah pada tahun 2086. Ide pasukan ruang angkasa ini didapat dari film kartun sains fiksi “Galaxy Rangers” yang pernah diputar di TVRI.

Kalau “Grrrrhh!!!” lebih terasa ramuan horornya karena penuh darah dan suasana mencekam, “Misi Kobra Putih” lebih riang karena kebanyakan isinya menggambarkan pertempuran dengan senjata sinar laser, pesawat tempur ruang angkasa yang canggih dan mobil-mobil canggih bernuasa futuristik yang digerakkan dengan tenaga gas dan listrik.

Ceritanya pasukan ini berjuang melawan serbuan teroris yang dipimpin penjahat kambuhan bernama Quade yang punya beberapa daerah kekuasaan di berbagai planet. Quade ingin menguasai bumi sebagai daerah jajahannya. Kalau dalam “Grrrrh!!!” Renatha sesekali bertindak sebagai editor, dalam “Misi Kobra Putih” Renatha menyumbangkan ilustrasinya. Jadilah cerita novel yang dihiasi gambar-gambar hitam putih yang menurut saya berhasil menghidupkan karakter cerita.  Cerita ini juga sama cara penulisannya, ditulis pada jam istirahat pertama lalu dibagikan pada jam istirahat kedua.

Beberapa saya tulis di rumah karena saya lebih suka menulis, menonton film, dan membaca di rumah daripada bermain galasin, kasti, sepak bola, gundu, atau adu biji karet, permainan-permaian yang populer kala itu. Sering saya tidur larut malam menyelesaikan cerita saya, menulis di atas tempat tidur. Semuanya termasuk juga “Grrrrhhh!!!” ditulis di tempat tidur.

Sayangnya kedua “novel” saya yang beredar di kalangan teman-teman sekolah itu sudah lenyap karena banjir melanda rumah kami pada tahun 1988. Sampai sekarang saya masih terkenang-kenang akan kedua buku tulis yang berisikan cerita itu. “Grrrhhhh!!!” ditulis di buku tulis merk AA bersampul merah sedangkan “Misi Kobra Putih” di buku tulis bersampul biru muda. Tentu tidak mungkin saya akan menemukan lagi kedua buku tersebut kecuali jika ada mesin waktu. Usaha yang bisa dilakukan adalah menuliskannya lagi. Tapi ini juga sulit karena fantasi kanak-kanak dan dewasa sudah berbeda. Beranjak dewasa saya malah lebih bisa menulis cerita tentang orang-orang yang dianggap aneh perilakunya di mata orang awam atau berbagai latar belakang peristiwa yang aneh melingkupi tokoh-tokohnya yang bersifat anti hero.

Lulus SD saya tak punya teman menulis lagi karena Renatha diterima bersekolah di Kanisius, sekolah yang bergengsi saat itu. Kami berpisah dan saya mulai menekuni hobi lain yaitu menggambar. Pelajaran menggambar buat saya adalah pelajaran yang paling menyenangkan di kala SMP sehingga saya berangan-angan jadi pelukis.

Tapi cita-cita saya berubah lagi waktu masuk SMA. Di SMA ada majalah dinding (mading) yang memuat berbagai artikel kehidupan remaja. Adanya mading membuat naluri saya berubah untuk kembali menulis lagi. Kali ini menulis artikel yang saya suka (terutama musik dan film) sambil sesekali membuat kartun dan komik sederhana. Untuk pengalaman mengelola mading yang diberi nama “BOM” (Buat Orang Muda) ini saya berpartner dengan Bayu, teman saya. Bersama Bayu kami mengolah mading pada sore hari sepulang sekolah hingga isinya menjadi beragam, tidak hanya berisi pesan salam sayang atau puisi saja, melainkan juga artikel tentang dinamika sekolah, artikel hiburan musik dan film juga kartun dan komik.

DI SMA cita-cita saya berubah ingin jadi wartawan. Juga saya bercita-cita lain menjadi sineas, menjadi pembuat film karena gemar menonton banyak film, kebanyakan film Hollywood dan Indonesia yang bermutu. Tapi cita-cita untuk menjadi wartawan sepenuhnya tak pernah terjadi sungguh-sungguh karena ibu menyuruh saya kuliah di bidang pariwisata. Ibu tak melihat potensi seniman yang ada dalam diri saya selain ia menganggap menjadi seniman atau wartawan hidupnya berantakan dan kurang menjanjikan, terutama dari segi materi. Kuliahnya juga lama.

Selain itu ibu nampaknya “trauma” melihat kakak saya kuliah di teknik nuklir di UGM kuliahnya lama sekali dan membutuhkan biaya besar. Ia nampaknya tak mau hal itu terjadi pada saya. Tapi saya ngotot. Dua kali saya mendaftar ke perguruan tinggi Universitas Gajah Mada jurusan FISIP. Sayangnya  gagal. Ibu saya “menang” dan saya kuliah di pariwisata.

Kuliah akhirnya saya lakoni dengan setengah hati walau akhirnya berhasil lulus juga dengan nilai lumayan tinggi. Akan tetapi salah satunya yang membuat saya bertahan kuliah adalah di kampus ada majalah tempat saya bisa menulis opini dan artikel serta wawancara. Saya akhirnya tetap bisa jadi wartawan sesuai cita-cita saya walau pendidikan sebenarnya bukan pendidikan jurnalistik. Selain itu saya di sana saya juga dapat berekspresi di bidang seni musik khususnya musik rock. Saya membentuk band Spinach di mana saya berperan sebagi vokalis menyanyikan lagu-lagu Nirvana, Radiohead sampai Dewa dan Gigi. Di luar kampus saya masih berinteraksi dengan teman lama saya di SMA Leodet Tambunan yang kuliah jurusan musik di IKJ. Bersamanya kami membentuk grup musik Mitzi Dupree memainkan repertoar Deep Purple dan Led Zeppelin.

Satu hal lain yang membuat saya senang berkuliah di kampus yaitu pernah ada kegiatan ekstra kurikuler jurnalistik. Pengajarnya (sayang saya lupa namanya) seorang ibu dari harian The Jakarta Post. Saya mendaftar dan betah di sana. Saya belajar membuat tulisan yang baik. Sesekali saya juga membuat cerpen yang dikirim ke media massa. Beberapa kali cerpen dan tulisan opini saya dimuat di majalah remaja Hai era 1990-an. Honornya cukup besar dikirim lewat wesel dan bisa ditabung. Hal ini membuat saya terus bersemangat menulis. Boleh dibilang majalah Hai adalah media pertama tempat saya menempa diri untuk menjadi penulis sungguhan.

Cerpen dan opini saya kerjakan di waktu luang atau libur kuliah. Selain menulis saya juga membuat kartun. Tapi semuanya ditolak. Yang dimuat cuma satu kali di majalah bulanan Intisari. Honornya kalau tidak salah waktu itu pada pertengahan tahun 1990-an Rp.50.000.

Karena gambar-gambar saya kebanyakan ditolak dan lebih banyak dimuat adalah tulisan, maka saya tinggalkan hobi membuat kartun itu tepatnya tahun 1995 dan memutuskan untuk lebih serius membaca dan menulis.

Dulu saya lebih menempa diri menulis cerpen, persis di kala SD dulu yaitu menulis cerita yang kelak dibaca banyak orang. Ada sepuluh kali cerpen saya dimuat di Hai. Tapi sayang file-nya sudah banyak yang hilang dilalap virus dan membuat saya sedih. Saya pikir, wah, kalau data-data tersebut masih ada bisa jadi kumpulan cerpen baru yang suatu saat bisa diterbitkan, batin saya. Tapi sama halnya dengan hilangnya dua “buku” pertama saya di kala SD, tentu saja peritiwa tersebut tak akan bisa terjadi lagi. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah menulis lagi tapi itu juga tak mungkin karena nyawa atau spiritnya berbeda. File yang selamat hanya dua biji cerpen (cerpen Pada Suatu Malam dan Her). Itupun didapat dari mengetik kembali dari majalah Hai yang memuat cerpen saya yang saya dapat di tukang loak. Her saya masukkan dalam antologi cerpen saya yang terbit tahun 2004. Sedangkan Pada Suatu Malam saya muat kembali di situs internet Kompas.com September 2008.

Periode menulis cerpen dulu idenya juga didapat dari banyak bacaan dan film. Kebanyakan dari film misteri serial teve “Alfred Hitchcock Present”, “Amazing Stories” dan “Twilight Zone” yang diputar di teve swasta pertama di Indonesia, RCTI. Idenya misteri tentang pembunuhan, kisah-kisah aneh dan balas dendam. Karena majalah remaja Hai yang saya favoritkan itu memuat cerita-cerita yang tidak melulu bicara cinta sentimentil seperti majalah remaja kebanyakan, maka saya membuat cerita-cerita seperti itu dengan mengganti tokoh dan settingnya remaja masa kini, tepatnya di Jakarta atau di Yogyakarta, kota yang membuat saya jatuh cinta kepada seni, walau saya hanya singgah beberapa kali di sana.

Tahun 1998 saya lulus kuliah. Tapi Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi yang berat. Pemerintahan berganti. Diktator Soeharto tumbang. Pengangguran di mana-mana, harga-harga melambung tinggi dan sulit mencari pekerjaan bagi mahasiswa yang baru lulus. Hampir semuanya minta yang berpengalaman. Ada satu-dua panggilan tapi saya tolak karena gajinya sangat tak sepadan dengan pekerjaannya yang berat. Saya merasa tidak diperlakukan dengan semestinya kendati pernah magang bekerja di sebuah hotel berbintang.

Satu-satunya jalan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak adalah bekerja di luar negeri, yaitu bekerja di kapal. Tapi itu butuh biaya besar sekitar sepuluh juta rupiah. Ibu saya tak punya uang, cita-cita bekerja di bidang pariwisata sesuai ijazah kandas. Tapi saya tidak putus asa. Saya malah menyibukkan diri di rumah dengan menulis. Kalau dimuat saya bangga dan merasa beruntung dibandingkan teman-teman dekat saya yang yang kerjanya hanya menunggu panggilan kerjaan dan membuat surat lamaran. Bagi saya menulis tidak hanya untuk menyelamatkan hidup saja tetapi juga membuat hidup menjadi lebih baik, lebih bermutu.

Tahun 1999 saya memutuskan untuk hidup dari menulis dan memulai periode hidup menjadi seniman sesungguhnya. Menulis apa saja yang saya ketahui dan sukai terutama di bidang film, sastra, komik, dan juga musik rock. Saya tidak peduli dengan kenyataan hidup yang mengecewakan dan memulai hidup baru dengan banyak menulis, membaca dan menonton film. Pelan-pelan ibu saya menerima. Dan sampailah saya berkenalan di TIM dengan sastrawan Eka Budianta yang kala itu mengelola organisasi P.E.N (Playwright, Essayist, Novelist)  Indonesia yang beranggotakan penulis-penulis ternama Indonesia.

Bersama Mas Eka (demikian saya memanggilnya) saya mengelola newsletternya yang terbitnya dua bulan sekali. Newsletter sederhana yang dikelola secara mandiri dengan fotokopian dari uang pribadi Mas Eka berisikan berita-berita tentang penulis sastra. Yang berkesan buat saya waktu itu saya berhasil membuat berita tentang H.B Jassin yang sedang sakit berat. Dulu belum ada satupun media yang mengulasnya sampai saya berhasil memberitakannya, baru kawan-kawan penulis terutama dari KSI (Komunitas Sastra Indonesia) yang digawangi penyair buruh Wowok Hesti Prabowo dan penyair yang juga redaktur budaya Republika, Ahmadun Y. Herfanda menjenguk H.B Jassin di rumahnya. Kedatangan mereka juga saya buat tulisan selain saya potret sendiri kondisi terakhir HB Jassin sebelum ia akhirnya wafat tahun 1999.

Sayangnya kerjasama dengan Mas Eka tak bertahan lama. Waktu pertemuan anggota P.E.N Indonesia di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin suasananya ricuh. Debat sengit antara Eka Budianta dan Radhar Panca Dahana tak terelakkan. Yang melerai Mudji Sutrisno. Waktu itu di kala belia saya tidak begitu mengerti apa inti perdebatan mereka. Yang saya tahu idealisme kedua budayawan ini bertentangan dan akhirnya pertemuan pun bubar dengan suasana yang kurang menyenangkan. Radhar marah-marah dan terus pergi. Sementara WS Rendra almarhum waktu itu tak banyak bicara. P.E.N bubar dan kerjasama saya berhenti. Saya kemudian kembali ke rumah mencoba menulis karya-karya yang ditawarkan ke berbagai majalah dan koran.

Hidup saya hanya menulis dan menulis terus. Sayangnya majalah Hai yang nampaknya sudah bisa menjadi kendaraan saya memuat tulisan saya menghentikan rubrik cerpen dan opini juga rubrik lain yang bisa diisi oleh penulis lepas (kecuali surat pembaca dan musik Hai) karena krisis ekonomi sejak 1998. Halamannya dipertipis dan kovernya tidak lagi mengkilat. Yang penting masih bisa dijual dengan harga yang pas buat kantong anak muda. Saya kecewa, tapi saya tetap menulis. Saya terus cari media lain sampai saya menemukan tabloid Agenda, tabloid anak muda yang dikelola oleh anak-anak muda jebolan UI. Cerpen saya (1999) dimuat di situ dan saya senang. Tapi sialnya tabloid Agenda tak juga berumur panjang. Tahun 2000 tutup, entah kenapa.

Selain itu saya juga berkenalan dengan mahasiswa psikologi UI George Arif Kurniawan yang mengelola majalah seni Aufklarung. Tulisan saya berupa resensi bukunya Seno Gumira Ajidarma “Iblis Tak Pernah Mati”  dimuat di situ. Walau tak ada honor saya senang tulisan saya dimuat. Sebab bgai saya yang terpenting saat itu tulisan saya kelak dibaca banyak orang, ya, minimal mahasiswa psikologi UI.

Tapi pada tahun-tahun itu tepatnya masih tahun 1999 saya berkenalan dengan penyair Nanang Suryadi yang sedang merintis proyek ajaib berupa situs sastra internet yang dinamai Cybersastra. Bersama Nanang saya merecokinya dengan memuat tulisan lain berupa resensi buku, esai dan cerpen sehingga Cybersastra yang semula kebanyakan hanya puisi menjadi beragam dan berdiri kokoh nan lengkap sebagai situs sastra.

Hal ini seperti waktu saya mengelola mading dulu di kala SMA. Cybersastra berkembang pesat menjadi situs sastra internet pertama di Indonesia. Di sana saya berperan sebagai redaktur cerpen dan juga membuat reportase tentang acara-acara sastra yang kebetulan saya datangi. Pengekor-pengekornya banyak seperti Bumimanusia, Akubaca, Sari Cerita, Cerita.net, Sriti.com, dan lain-lain. Tentu saja mereka hadir dengan idealisme yang berbeda-beda walau berkiprah di media internet. Misalnya Sriti.com yang memang tujuannya mendokumentasi secara digital cerpen yang dimuat di koran.

Periode mengelola Cybersastra membuat saya takjub dan bangga karenanya. Di sini kami banyak menemukan tulisan-tulisan bagus mulai dari puisi, esai, sampai cerpen. Yang membuat saya bangga kalau membaca biodata beberapa penulis yang dulu giat mempublikasikan karya di internet dan sekarang punya beberapa buku, pasti mencantumkan  nama media Cybersastra sebagai media yang pernah memuat tulisannya.

Pada tahun itu juga periode 2000-an saya juga berkenalan dnegan penyair dan dramawan A. Badri AQT dan kekasihnya Mariana Amiruddin (sekarang direktur Yayasan Jurnal Perempuan) yang mengelola majalah seni budaya Plot!. Saya menawarkan diri untuk bergabung. Di situ saya menulis esai tentang film dan sastra. Beberapa diantaranya saya muat kembali dalam buku kumpulan esai saya Sastra yang Malas: Obrolan Sepintas Lalu yang diterbitkan Tiga Serangkai Solo pada 2004. Tahun ini juga saya juga mengumpulkan duit dan merintis penerbitan buku perdana saya sebuah kumpulan puisi yang difotokopi hanya sebanyak 50 eksemplar. Judulnya “Episode Anak Negeri” dan saya terbitkan dan saya jual per buah hanya Rp. 7000 saja di berbagai acara di TIM pada tahun 2000. Buku perdana saya ini saya juga beri ilustrasi yang saya kerjakan sendiri dengan nama pena, Doro.

Tahun 2002 saya diterima bekerja di komunitas seni EKI (Eksotika Karmawhibangga Indonesia) setelah mengalami setahun “masa perkenalan”. Saya disitu ditugaskan untuk merancang penerbitan majalah seni yang mereka siapkan setelah mereka berhasil menerbitkan buletin seni bekerjasama dengan majalah gratisan (free magazine) pertama di Indonesia, Aikon!. Sayangnya rancangan tersebut tak jadi diwujudkan karena setelah dipelajari dengan seksama serta melakukan advis dari berbagai ahlinya (salah satunya mantan wartawan Gatra Akmal Nasery Basral) sang atasan merasa tak mampu melawan “mafia” industri pers. Tapi saya tidak dipecat. Saya malah dialihkan untuk mengelola majalah internal Prajna Pundarika majalah yang dikelola oleh Yayasan Pandita Sabbha Buddha Dharma Indonesia (YPS-BDI) yayasan yang selain mengelola sekte Niciren Syosyu Indonesia juga mendanai komunitas seni tari dan pertunjukan musikal EKI.

Jabatan saya cukup berat yaitu langsung menjadi wakil pemimpin redaksi. Meski sebenarnya berat tapi saya suka karena meskipun saya tidak mengalami pendidikan formal jurnalistik atau sastra saya dipercaya memimpin sebuah majalah yang isinya beragam mulai dari agama, budaya, filsafat, konsultasi psikologi, sampai cerita anak, cerpen dan komik. Tentunya yang sesuai ajaran Buddhis aliran Niciren Syosyu.

Cukup lama saya bekerja di situ karena selain mendapatkan gaji yang cukup buat saya beli buku, kaset,  dan nonton film saya juga banyak mendapatkan kenalan dengan seniman-seniman terkemuka, bukan hanya kalangan penulis sastra saja seperti yang selama ini saya alami. Sujiwo Tejo, Aiko Senosoenoto, Yanusa Nugroho, Firman Ichsan, Sugeng Yeah, Rusdy Rukmarata, Ekky Imanjaya, dan Hikmat Darmawan saya jadi akrab bahkan bisa nimbrung dan menjalankan berbagai ide. Terutama saya juga aktif di komunitas Musyawarah Burung yang digawangi oleh Hikmat Darmawan, Ekky Imanjaya, Agung Yudhawiranata, Agung Pribadi, Akmal Nasery Basral, Edwin Irvanus (a.k.a Ewink) dan Kurniawati. Kebetulan komunitas ini pernah ditempatkan di EKI hingga bisa membuat berbagai acara diskusi, pentas seni, dan putar film.

Selain itu rencana penerbitan majalah di komunitas EKI diubah menjadi penerbitan buku yang dinamai oleh budayawan Hikmat Darmawan yang dulu menjadi atasan saya menjadi divisi “EKI Press”. Rencana ini dilakukan karena penerbitan buku relatif tidak membutuhkan biaya tinggi ketimbang majalah, di samping pengerjaannya juga lebih fleksibel.

EKI Press berhasil menelurkan beberapa buku yang menghimpun cerpen-cerpen penulis-penulis terkenal seperti Putu Wijaya, Sapardi Djoko Damono, Tommy F. Awuy, Seno Gumira Ajidarma, Veven S. Wardhana, Djenar Maesa Ayu dan lain-lain. Di sini saya bekerja sebagai tim pengumpul naskah dan pengontak para penulis.

Yang membanggakan (walau penjualannya juga seret meski sudah diisi penulis terkenal) buku-buku yang kami hasilkan mendobrak buku antologi cerpen pada umumnya yang rata-rata hanya “kliping” cerpen yang sudah dimuat di media massa. Kami berhasil menerbitkan buku yang berjalan di genrenya sendiri yaitu “cerpen buku”. Para penulisnya kami kontak dan kami minta menulis sesuai tema yang kami rencanakan. Panjangnya terserah, pokoknya cerpen. Hal lain yang membanggakan walau buku ini diproduksi guna mendukung pementasan musikal EKI, buku ini tetap bisa dijual setelah pementasan berakhir alias long lasting time jika tim pemasarannya aktif menjajakan buku di berbagai toko-toko buku di Indonesia. Penjualannya memang tidak sampai best seller tapi uang pemasukan berapa pun nilainya cukup berarti buat divisi “EKI Press” yang kami bentuk. Di waktu senggang kadang saya menjajakan buku EKI Press (juga bulletin sastra ON/OFF dari Jogja yang digawangi Putut EA dan jurnal sastra BlockNot Prose yang digawangi Ugoran Prassad) ke berbagai toko buku komunitas di Depok atau acara bazaar buku. Meski duitnya tak banyak rasanya puas menjajakan hasil keringat sendiri.

Di samping itu saya punya tugas harian sebagai editor bahasa majalah Prajna Pundarika. Pengalaman bekerja di Prajna membuat saya dikenal dan ditarik oleh tabloid kesehatan “SENIOR” terbitan tabloid Bola-Gramedia sebagai editor bahasa pengganti tenaga editor yang sedang cuti hamil. Saya bekerja paruh waktu di sana selama 3 bulan. Yang membanggakan ketika editor sebenarnya selesai cuti hamil, waktu saya ditambah sebulan lagi karena redaktur pelaksananya, JJ Waskito senang saya juga bisa menulis artikel kesehatan. Tugas saya selain mengedit juga menulis dan membuat reportase. Di sinilah saya merasakan bekerja sesungguhnya menjadi wartawan sesuai cita-cita saya dulu walau hanya beberapa bulan saja. Setelah ditambah 1 bulan lagi di SENIOR saya masih diberi kesempatan menulis lepas artikel kesehatan dengan honor yang dihitung dari tulisan yang dimuat. Hasilnya ketika dihitung puji Tuhan cukup besar. Saya bisa menyicil beli sepeda motor baru pada 2004 dan beli buku.

Yang patut disyukuri pengalaman bekerja di EKI-Prajna-YPS BDI saya tidak hanya bekerja cari uang tapi juga menemukan pergaulan komunitas kesenian yang sampai sekarang tak terbayar. Di samping itu saya juga mendapat modal berupa pergaulan aktif dengan kesenian dan hiruk pikuknya sehingga saya terus terpacu ide untuk menyusun buku saya yang pertama, kumpulan cerpen dan esai sastra.

Pada tahun itu juga (2002) tulisan saya tentang penerjemah sastra Tionghoa Wilson Tjandinegara dimuat di majalah Pantau, sebuah majalah yang cukup bergengsi dengan menawarkan konsep jurnalisme sastrawi terbitan ISAI (Institut Studi Arus Informasi). Majalah yang dipimpin alumnus Harvard University, Andreas Harsono dengan salah satu editornya sastrawan peraih Khatulistiwa Award 2004 Linda Christanty ini cukup berani menawarkan konsep baru dalam kancah jurnalistik di Indonesia.

Tulisannya yang rata-rata features semua dari berbagai bidang mulai dari politik, bisnis media, sastra, film dan lain-lain ini mengadopsi majalah The New Yorker. Kavernya saja beda dari majalah yang ada dengan menampilkan lukisan-lukisan para pelukis terkemuka. Uniknya lagi di kavernya tidak terpampang caption judul-judul artikel yang ditawarkan lazimnya majalah. Semunya murni pure lukisan! Sistem pembayaran honornya pun beda dengan majalah yang sudah ada. Honornya dihitung Rp.400 per kata. Jadi di sini silakan menulis sebanyak-banyaknya, hasilnya tinggal dikali 400 perak. Honornya cukup besar dan sampai sekarang saya merasa honor paling besar dari majalah Pantau (sekarang almarhum) yang pernah saya terima selama menjadi penulis.

Sayang majalah ini berhenti terbit pada tahun 2003 karena penyandang dananya (salah satunya kalau tidak salah Ford Foundation) berhenti mengucurkan dana. Mungkin setelah dirasa kebebasan pers di sini sudah semakin membaik dananya dihentikan supaya Pantau bisa mencari dana sendiri. Nyatanya tidak walau pada tahun 2006 majalah ini sempat hidup lagi dan mati lagi untuk yang kedua kalinya. Sekarang mereka berubah menjadi yayasan sindikasi penulis. Andreas Harsono dan rekan—rekannya kini menjadi instruktur pelatihan jurnalistik di berbagai tempat.

Sampai akhirnya saya mengenal Anwar Holid (a.k.a Wartax) pada tahun 2003 yang mengaku pertama kali melihat saya waktu didapuk menjadi pembicara oleh Melvy dari majalah Matabaca yang diterbitkan Bank Naskah Gramedia tentang penulisan resensi buku di acara Pesta Buku Jakarta 2003 di Istora Senayan.

Wartax demikian panggilan akrabnya tertarik dengan tulisan-tulisan saya. Rupanya dia membaca tulisan saya yang tersebar di internet, buletin sastra ON/OFF, dan tentu saja situs yang saya kelola Cybersastra. Wartax berniat membukukan karya saya terutama cerpen karena di matanya saya sedang menyuguhkan sesuatu yang baru dari cerpen Indonesia kebanyakan karena lebih senang berkisah daripada bermain metafora dan yang lebih penting lagi panjangnya tak lazim seperti halnya cerpen koran yang panjangnya 5-8 halaman.

Wartax yang bekerja sebagai editor penerbit Jalasutra segera menyimpan naskah saya. Di Bandung ia dan kawan-kawannya nampaknya begitu serius mempersiapkan berbagai naskah kebudayaan dan sastra yang dinilainya progresif, termasuk diantaranya cerpen saya. Di tahun yang sama pula saya mendapat tawaran untuk mengumpulkan esai sastra saya berkat rekomendasi Yanusa Nugroho dari penerbit Tiga Serangkai Solo.

Tak lama kemudian pada tahun 2004 lahir dua buku saya sekaligus, kumpulan esai Sastra yang Malas: Obrolan Sepintas Lalu dan […] dan Cerita-cerita Lainnya (dibaca: Tiga Titik). Sayang penjualan kedua buku ini tak begitu memuaskan alias kurang laku. Akan tetapi yang masih membuat saya senang royaltinya masih berjalan sampai sekarang (2010). Selain itu nama saya mulai dikenal sebagai penulis meski buku-buku yang saya tulis itu sekarang sudah tidak nampang lagi di toko buku. Saya jadi lebih mudah mengirim tulisan. Dengan mencantumkan sedikit biografi saya di akhir tulisan redaktur percaya tulisan saya terjamin mutunya setelah dibaca.

Satu hal yang membanggakan jika membaca tulisan saya dimuat sangat jarang terlihat editing dari redaktur atawa editor sehingga menimbulkan kesan bahwa tulisan saya memang cocok untuk media yang mereka kelola. Buat saya tak penting buku itu laku atau tidak, pembacanya banyak atau tidak, media kecil ataupun besar,  yang penting kita punya karya yang sudah terbit dan yang terpenting lagi seperti kata penulis cerita anak dan sastrawan Bambang Joko Susilo via SMS belum lama ini kepada saya, “cintailah dunia menulis itu dengan sepenuh hati, tak penting mau menjadi kaya atau terkenal”.

Selain itu tawaran menulis di berbagai media pun berdatangan. Salah satunya yang membuat saya bangga adalah tawaran menulis artikel di majalah seni budaya GONG dari Yogyakarta. Saya kebetulan suka sekali dengan apa yang ditawarkan majalah GONG dan suka membelinya di toko-toko buku. Saya tak peduli GONG pembacanya kalangan terbatas dan sedikit dibandingkan Kompas atau Media Indonesia. Ah, bukankah setiap media punya pembaca atu pasarnya sendiri-sendiri?

Satu hal prinsip saya menulis selain menulis “apa yang kamu ketahui” dan “apa yang kamu suka” adalah carilah media yang membuat kita bangga bisa memuat tulisannya di situ. Saya kadang tak peduli majalah atau media itu ada honornya atau tidak, majalah yang best seller atau tidak, satu hal yang  selalu saya pegang jauh-jauh ketika saya masih belum punya buku sampai sekarang, meskipun penulis untuk hidup harus mendapatkan honor.

Apa arti menulis buat saya?

Tentu saja buat saya menulis  adalah mengolah pikiran  dan menertibkan imajinasi sehingga membuat hidup ini jadi lebih bermutu. Dengan menulis kita bisa jadi perancang berbagai hal, menganalisis masalah dan tentunya membuat batin jadi lebih tenang. Dalam menulis kita bisa menujukkan siapa diri kita sebenarnya karena motivasi menulis adalah kejujuran. Dalam sehari jika tidak menulis saya merasa kosong dan hampa, serasa bukan manusia yang utuh.

Menulis adalah nafas saya dan satu hal yang membanggakan keterampilan menulis itu tak tergantung umur. Ini sungguh beda dengan profesi lain misalnya olahragawan yang di usianya menginjak tigapuluhlima tahun sampai empatpuluh tahun sudah dianggap tidak muda lagi dan hasilnya kurang enerjik lagi di lapangan. Begitu juga dengan pegawai negeri yang harus pensiun di usia limapuluhtahun. Tapi menulis bisa sampai kapan pun asalkan otak masih bekerja.

Banyak penulis yang usianya sudah jompo tetap berkarya dan punya nilai lebih dibandingkan orang-orang biasa yang tidak memiliki niat menjadi penulis. AA Navis dan Umar Kayam almarhum di masa tuanya masih aktif menulis cerpen, esai, makalah, dan juga menyunting berbagai buku dan jurnal. Contoh terdekat adalah ibu saya sendiri yang pernah kuliah di sastra tapi di masa aktif bahkan sampai pensiunnya tidak menulis apapun. Padahal dulu beliau yang mengajari saya bahwa selain menulis itu kita juga harus mampu mengedit tulisan sendiri.

Contoh lain lagi paman saya di Salatiga yang di masa mudanya sering bepergian  ke luar negeri dan kota-kota lain di Indonesia juga kutu buku. Tapi karena beliau akhirnya sakit mata (bahkan sekarang nyaris buta) di samping dulunya tidak mempunyai niat apalagi keterampilan menulis pengalaman itu menguap begitu saja dibawa angin sehingga menjadi cuma sekedar romantisme masa lalu saja. Saya tidak mau seperti itu. Hidup rasanya lebih berarti dan seperti bunyi slogan iklan rokok terkenal-menulis itu membuat “bikin hidup jadi lebih hidup”.

Satu hal yang membanggakan lagi jadi penulis adalah tak penting usia berapapun juga untuk memulainya. Karl May yang kondang dengan serial Winnetou-nya baru menulis di usia 37 tahun. Pandu Ganesha yang aktif menggiatkan penerbitan ulang buku-buku Karl May saja (yang saya tahu) baru menulis di usianya yang paruh baya. Yang penting buat saya bersegeralah menulis, menertibkan imajinasi dan membuat hidup lebih hidup. Mempelajari teori atau aturan penulisan sastra ataupun karya tulsi memnag perlu tapi harus segera diimbangi dnegan kemauan kita untuk harus menulis. Aturan jika terlalu banyak ditekuni akan malah menghambat karya tulis kita selanjutnya. Tak penting jadinya bagus atau tidak, tapi yang penting bersegeralah untuk menulis jika sudah dirasa saatnya akan tiba. Mengenai bagus atau tidak biar masyarakat yang menilai.

***

Tak terasa sudah 11 tahun saya menulis. Saya lalu mengkhususkan diri sebagai penulis artikel kebudayaan (budaya pop) khususnya sastra, komik dan film, minat yang saya suka. Tapi meski sudah 11 tahun saya menulis dan punya beberapa buku saya masih sering menemui kendala menulis. Banyak juga tulisan saya yang ditolak, pun naskah yang ditolak penerbit. Semua kumpulan tulisan saya yang ditolak dan diterima saya kumpulkan ke dalam blog ini. Tujuannya hanya satu : saya ingin hidup dan mati dikenal sebagai penulis. Blog ini saya bikin bukan sekdar dokuemntasi karya saya, melainkan juga batu nisan saya kelak kalau saya mati. Buku-buku saya memang tak laris tapi saya punya karya dan masih terus menulis apapun resikonya. Sekarang saya hidup dari menulis. Hidup menawarkan ide dan gagasan tulisan ke berbagai redaktur, khususnya redaktur budaya.

Masih banyak yang ingin saya tulis, salah satunya merampungkan novel saya yang terhenti sejak 2008, “Kakofoni”. Tapi di penghujung tahun 2010 inipun “Kakofoni” gagal saya selesaikan karena saya terdesak ekonomi. Karena terdesak ekonomi saya menulis untuk uang. Kantor penerbit tempat saya bekerja bangkrut dan saya kesulian mencari kerja sesuai bidang saya karena saya tak punya ijazah S1 selain usia sudah merambat tua (lebih dari 30 tahun).

Boleh dibilang tahun 2010 adalah tahun tersulit buat saya karena saya tak kunjung mendapatkan pekerjaan tetap lagi di sebuah kantor. Saya minder dan putus asa. Saya sempat berhenti menulis beberapa bulan menyesali nasib.  Saya lalu menjauhi pergaulan dan komunitas yang membesarkan saya diantaranya komunitas Meja Budaya. Di komunitas ini saya mulai bosan, terutama sobat-sobat saya para seniman unggul pergi karena tugas dan pekerjaan baru.

Saya putus asa dan rasanya ingin mati saja karena nyaris pekerjaan yang saya terima semuanya freelance dan tidak tetap hasilnya. Saya tenggelam pada obat-obat tidur karena saya jadi lebih suka tidur dan banyak merokok juga melamun daripada bekerja. Ini gawat, memang.  Semua itu saya lakukan karena tabungan saya mulai habis, usaha toko buku saya yang saya dirikan bersama kekasih tahun 2007 bangkrut di samping kekasih saya meninggal, buku-buku saya tidak laku terjual, ibu saya pensiun dan sakit-sakitan belum beberapa kawan dekat pergi meninggalkan saya karena studi, pekerjaan baru sampai ada pula yang menikah juga meninggal (salah satunya kawan dan mantan bos saya Mula Harahap yang dipanggil Tuhan karena penyakit jantung pada bulan September 2010 sesudah Lebaran).

Pihak keluarga menyuruh saya mencari kerja lain selain menulis. Semuanya saya coba seperti salah satunya berjualan buku bekas di berbagai seminar tapi saya hanya bergairah jika menulis. Dan saya tetap menulis sampai titik darah penghabisan. Mungkin saya bukan tipe pekerja kantoran lagi setelah usia saya sudah mulai merambat tua. Menjadi tua saya semakin terus giat menulis karena hanya ini yang saya bisa. Mendapat tawaran kerja lepas sebagai aktivis LSM, guru menulis, editor lepas, penulis lepas, penerjemah lepas, panitia kegiatan seni dan jurnalistik saya terima supaya aktualisasi diri dan pemenuhan kebutuhan ekonomi saya tetap berjalan.

Duit memang prioritas tapi idealisme saya menulis tak bisa berhenti. Budayawan Hikmat Darmawan, sobat sejati saya yang kini sedang bertugas di Jepang dan Thailand membesarkan hati saya untuk terus menulis dan hasilnya toh ada setelah semangat saya berkobar kembali untuk menulis. Dua kali tulisan saya dimuat di sebuah majalah seni dan jurnal terkemuka.

Kini saya diterima magang sebagai kontributor di sebuah jurnal yang dikelola LSM. Memang belum ada gaji tetap tapi saya tak berhenti berharap. Kalau memang Tuhan belum mentakdirkan saya dengan memberi pekerjaan tetap pada kenyataannya saya harus menjalani takdir saya sebagai penulis dan pengamat kebudayaan. Saya adalah seniman, bukan pegawai kantoran lagi walau saya masih merindukan pekerjaan itu kelak supaya bisa menabung lagi dan menghimpun kekuatan baru dari segi ekonomi. Satu-satu Tuhan memberi jlaan. Bukan pekerjaan tetap tapi dimulai dari munculnya teman-teman baru dari komunitas seni rupa Serrum dan Ruang Rupa, komunitas musik ProClaro dan mengontak sobat lama saya seorang musikus untuk terlibat menjadi panitia sebuah acara musik. Pelan-pelan saya bangkit. Rokok mulai saya kurangi dan saya mulai makan enak tidak terlalu amat prihatin dan menjalani hidup apa adanya. Salah satu hal yang harus diperbaiki sebagai langkah awal dalah menerima kenyataan dulu walau pahit sekalipun.  Teman dekat, pekerjaan yang dinanti dan kekasih boleh saja pergi. Tapi semangat hidup tak boleh luntur.

Satu per satu saya dikenalkan teman-teman baru yang pelan-pelan membangkitkan kreativitas saya lagi. Fitnah juga pernah saya terima selain kawan dan kekasih yang pergi ke surga. Saya juga dipertemukan kembali dengan seorang kawan yang hidupnya lebih kacau dari saya sehingga saya bisa bangkit dan teman saya itu menjadi contoh bahwa hidup nyatanya saya masih lebih beruntung dan saya tidak sendirian. Masih ada yang lebih susah dari saya tapi hidupnya tenang-tenang saja. Semuanya saya lakoni dengan apa adanya dan selalu berusaha memperbaiki kehidupan yang kacau. Saya bersykur kepada Tuhan saya masih diberi teman yang bisa mengingatkan bahwa hidup saya sebenarnya masih lebih beruntung dan masih bisa diperbaiki. Dan semua itu terjadi dengan menulis.

Ya, menulis!

Saya akan tetap menulis sampai mati!

 

Rawamangun, Agustus-November  2010.

 

 

 

 

 

 

Posted in: Personal Essay